STARFLAZZ---Kesendirian bukanlah perasaan terburuk, tetapi dikelilingi orang yang ngebuat Loe ngerasa sedirianlah perasaan terburuk. ^_^

Friday, 20 March 2020

KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI CORONAVIRUS DISESASE (COVID-19)

   

Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini sampai saat ini masih belum diketahui.

Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru.


Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus disease, COVID-19). Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara global dilaporkan 90.870 kasus konfimasi di 72 negara dengan 3.112 kematian (CFR 3,4%). Rincian negara dan jumlah kasus sebagai berikut: Republik Korea (4.812 kasus, 28 kematian), Jepang (268 kasus, 6 kematian), Singapura (108
kematian), Australia (33 kasus, 1 kematian), Malaysia (29 kasus), Viet Nam (16 kasus),
Filipina (3 kasus, 1 kematian), New Zealand (2 kasus), Kamboja (1 kasus), Italia (2.036 kasus,
52 kematian), Perancis (191 kasus, 3 kematian), Jerman (157 kasus), Spanyol (114  kasus),
United Kingdom (39 kasus), Swiss (30 kasus), Norwegia (25 kasus), Austria (18 kasus),
Belanda (18 kasus), Swedia (15 kasus), Israel (10 kasus), Kroasia (9 kasus), Islandia (9 kasus), San Marino (8 kasus), Belgia (8 kasus), Finlandia (7 kasus), Yunani (7 kasus),

Denmark  (5 kasus),  Azerbaijan  (3 kasus),  Republik  Ceko  (3 kasus),  Georgia  (3 kasus),
Romania (3 kasus), Rusia (3 kasus), Portugal (2 kasus), Andorra (1 kasus), Armenia (1 kasus), Belarus (1 kasus), Estonia (1 kasus), Irlandia (1 kasus), Republik Latvia (1 kasus), Lithuania (1 kasus), Luxembourg (1 kasus), Monako (1 kasus), Makedonia Utara (1 kasus),
Thailand (43 kasus, 1 kasus), India (5 kasus), Indonesia (2 kasus), Nepal (1 kasus), Sri Lanka
(1 kasus), Iran (1.501 kasus, 66 kematian), Kuwait (56 kasus), Bahrain (49 kasus), Iraq (26 kasus), Uni Emirat Arab (21 kasus), Libanon (13 kasus), Qatar (7 kasus), Oman (6 kasus), Pakistan (5 kasus), Mesir (2 kasus), Afghanistan (1 kasus), Yordania (1 kasus), Maroko (1 kasus), Arab Saudi (1 kasus), Tunisia (1 kasus), Amerika Serikat (64 kasus, 2 kematian), Kanada (27 kasus), Ekuador (6 kasus), Meksiko (5 kasus), Brasil (2 kasus), Republik Dominika (1 kasus), Algeria (5 kasus), Nigeria (1 kasus), Senegal (1 kasus). Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa petugas kesehatan yang dilaporkan terinfeksi.
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui kontak erat dan droplet, tidak melalui udara. Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu, menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.

SURVEILANS DAN RESPON



      Definisi Operasional
    Pasien dalam Pengawasan
1.    Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38oC) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/ sesak nafas/ sakit tenggorokan/ pilek/
/pneumonia ringan hingga berat.#

                      DAN

tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan

                      DAN

pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:
a.    Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;
b.    Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia**

2.    Seseorang dengan demam (≥38oC) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel COVID-19;

3.    Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat*** di area transmisi lokal di Indonesia** yang membutuhkan perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

    Orang dalam Pemantauan

Seseorang yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk.

DAN

tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

DAN

pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:
a.    Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;

b.    Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia**

2.1.1     Kasus Probabel

Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk COVID-19 tetapi inkonklusif (tidak dapat disimpulkan).

2.1.2     Kasus Konfirmasi

Seseorang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan laboratorium positif.


Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan, probabel atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Kontak erat dikategorikan menjadi 2, yaitu:
1.   Kontak erat risiko rendah
Bila kontak dengan kasus pasien dalam pengawasan.
2.   Kontak erat risiko tinggi
Bila kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel.

Termasuk kontak erat adalah:
a.    Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.
b.    Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c.     Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

2.2          Kegiatan Surveilans

2.2.1     Kasus Pasien dalam pengawasan
Jika ditemukan kasus pasien dalam pengawasan, kegiatan surveilans dilakukan terhadap kontak erat termasuk keluarga maupun petugas kesehatan yang merawat pasien.

2.2.2     Kontak Erat

Berikut kegiatan yang dilakukan terhadap kontak erat:
a.    Kontak erat risiko rendah
Kegiatan surveilans dan pemantauan kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan pasien dalam pengawasan. Kontak erat ini wajib melakukan observasi. Observasi yang dimaksud dalam pedoman ini adalah karantina. Kontak erat risiko rendah tidak memerlukan pengambilan spesimen.
·         Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan negatif COVID-19 maka kegiatan surveilans dan pemantauan terhadap kontak erat dihentikan.
·         Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan probabel/positif COVID-
19 (konfirmasi) maka pemantauan dilanjutkan menjadi kontak erat risiko tinggi.
b.    Kontak erat risiko tinggi
Kegiatan surveilans terhadap kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan probabel/ konfirmasi. Kontak erat ini wajib dilakukan observasi dan dilakukan pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-14). Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman di lokasi observasi. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai salinan formulir

pemantauan harian kontak erat (lampiran 2). Bila hasil pemeriksaan laboratorium positif maka pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Apabila kontak erat menunjukkan gejala demam (≥38⁰C) atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan dalam 14 hari terakhir maka dilakukan isolasi rumah dan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 oleh petugas kesehatan setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Apabila hasil laboratorium positif, maka dilakukan rujukan ke RS rujukan untuk isolasi di Rumah sakit. Petugas kesehatan melakukan pemantauan melalui telepon, namun idealnya dengan melakukan kunjungan secara berkala (harian). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Jika pemantauan terhadap kontak erat sudah selesai maka dapat diberikan surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9). Penjelasan lengkap mengenai pelacakan kontak erat dapat dilihat pada Bab II bagian 2.5.

2.2.3     Orang dalam Pemantauan

Orang dalam pemantauan wajib melakukan isolasi diri di rumah dan dilakukan pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-2). Kegiatan surveilans terhadap orang dalam pemantauan dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai formulir pemeriksaan ODP/PDP (lampiran 6). Bila hasil pemeriksaan menunjukkan positif maka pasien di rujuk ke RS Rujukan. Begitu pula bila apabila orang dalam pemantauan berkembang memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan dalam 14 hari terakhir maka segera rujuk ke RS rujukan untuk tatalaksana lebih lanjut.
Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon namun idealnya melakukan kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan harian (lampiran 2). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat

dan tidak bergejala, ditetapkan melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9).

2.2.4     Pelaku Perjalanan Dari Negara/Area Terjangkit

Pelaku perjalanan dari negara/area transmisi lokal yang tidak bergejala wajib melakukan monitoring mandiri terhadap kemungkinan munculnya gejala selama 14 hari sejak kepulangan. Setelah kembali dari negara/area transmisi lokal sebaiknya mengurangi aktivitas yang tidak perlu dan menjaga jarak kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain. Jika dalam 14 hari timbul gejala, maka segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dan membawa HAC. Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan dari negara terjangkit yang tidak berisiko dan tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang diberikan di pintu masuk negara. Petugas pintu masuk negara diharapkan melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan alamat yang tertera di HAC. Dinas Kesehatan yang menerima notifikasi dapat meningkatkan kewaspadaan dan diharapkan melakukan komunikasi risiko kepada pelaku perjalanan dengan memanfaatkan teknologi seperti telepon, pesan singkat, dll.

2.3         Deteksi Dini dan Respon

Kegiatan deteksi dini dan respon dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, kasus probabel maupun kasus konfimasi COVID-19 dan melakukan respon adekuat. Upaya deteksi dini dan respon dilakukan sesuai perkembangan situasi COVID-19 dunia yang dipantau dari situs resmi WHO atau melalui situs lain:
·         Situs resmi WHO (https://www.who.int/) untuk mengetahui negara terjangkit dan wilayah yang sedang terjadi KLB COVID-19.
·         Peta penyebaran COVID-19 yang mendekati realtime oleh Johns Hopkins University
-Center for Systems Science and Engineering (JHU CSSE), dapat diakses pada link https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd4 0299423467b48e9ecf6.
·         Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah/ kementerian kesehatan dari negara terjangkit (dapat diakses di www.infeksiemerging.kemkes.go.id)
·         Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita yang berkembang terkait dengan COVID-19.

2.3.1     Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara

Dalam rangka implementasi International Health Regulation/ IHR (2005), pelabuhan, bandara, dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) melakukan kegiatan karantina, pemeriksaan alat angkut, pengendalian vektor serta tindakan penyehatan. Implementasi IHR (2005) di pintu masuk negara adalah tanggung jawab Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) beserta segenap instansi di pintu masuk negara. Kemampuan utama untuk pintu masuk negara sesuai amanah IHR (2005) adalah kapasitas dalam kondisi rutin dan kapasitas dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD).
Kegiatan di pintu masuk negara meliputi upaya detect, prevent, dan respond terhadap COVID-19 di pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan yang datang dari wilayah/ negara terjangkit COVID-19 yang dilaksanakan oleh KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor terkait.

2.3.1.1  Kesiapsiagaan

Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi ancaman COVID-19 maupun penyakit dan faktor risiko kesehatan yang berpotensi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) lainnya di pintu masuk (pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN), diperlukan adanya dokumen rencana kontinjensi dalam rangka menghadapi penyakit dan faktor risiko kesehatan berpotensi KKM. Rencana Kontinjensi tersebut dapat diaktifkan ketika ancaman kesehatan yang berpotensi KKM terjadi. Rencana kontinjensi disusun atas dasar koordinasi dan kesepakatan bersama antara seluruh pihak terkait di lingkungan bandar udara, pelabuhan, dan PLBDN.
Dalam rangka kesiapsiagaan tersebut perlu dipersiapkan beberapa hal meliputi norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK), kebijakan dan strategi, Tim Gerak Cepat (TGC), sarana prasarana dan logistik, serta pembiayaan. Secara umum kesiapsiagaan tersebut meliputi:

a.    Sumber Daya Manusia (SDM)

·         Membentuk atau mengaktifkan TGC di wilayah otoritas pintu masuk negara di bandara/ pelabuhan/ PLBDN. Tim dapat terdiri atas petugas KKP, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina Hewan dan unit lain yang relevan di wilayah otoritas pintu masuk negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam pencegahan importasi penyakit.
·         Peningkatan kapasitas SDM yang bertugas di pintu masuk negara

dalam kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 dengan melakukan pelatihan/drill, table top exercise, dan simulasi penanggulangan COVID-19.
·         Meningkatkan kemampuan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor dengan semua unit otoritas di bandara/ pelabuhan/ PLBDN.

b.    Sarana dan Prasarana

·         Tersedianya ruang wawancara, ruang observasi, dan ruang karantina untuk tatalaksana penumpang. Jika tidak tersedia maka menyiapkan ruang yang dapat dimodifikasi dengan cepat untuk melakukan tatalaksana penumpang sakit yang sifatnya sementara.
·         Memastikan alat transportasi (ambulans) penyakit menular ataupun peralatan khusus utk merujuk penyakit menular yang dapat difungsikan setiap saat untuk mengangkut ke RS rujukan. Apabila tidak tersedia ambulans khusus penyakit menular, perujukan dapat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pencegahan infeksi (menggunakan Alat Pelindung Diri/ APD lengkap dan penerapan disinfeksi)
·         Memastikan fungsi alat deteksi dini (thermal scanner) dan alat penyehatan serta ketersediaan bahan pendukung.
·         Memastikan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit terkait.
·         Menyiapkan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-obat suportif (life-saving), alat kesehatan, APD, Health Alert Card (HAC), dan melengkapi logistik lain, jika masih ada kekurangan.
·         Menyiapkan media komunikasi risiko atau bahan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dan menempatkan bahan KIE tersebut di lokasi yang tepat.
·         Ketersediaan pedoman kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 untuk petugas kesehatan, termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan pasien.

2.3.1.2  Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara

Deteksi dini dan respon dilakukan untuk memastikan wilayah bandara, pelabuhan dan PLBDN dalam keadaan tidak ada transmisi. Berikut upaya deteksi dan respon yang dilakukan di pintu masuk negara:


a.    Pengawasan Kedatangan Alat Angkut

1)    Meningkatkan pengawasan alat angkut khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan alat angkut dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada alat angkut.
2)    Memastikan alat angkut tersebut terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.
3)    Jika dokumen lengkap dan/atau tidak ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan, terhadap alat angkut dapat diberikan persetujuan bebas karantina.
4)    Jika dokumen tidak lengkap dan/ atau ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan, terhadap alat angkut diberikan persetujuan karantina terbatas, dan selanjutnya dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan yang diperlukan (seperti disinfeksi, deratisasi, dsb).
5)    Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes, RS rujukan, Kantor Imigrasi, dsb.

b.    Pengawasan Kedatangan Barang

Meningkatkan pengawasan barang (baik barang bawaan maupun barang komoditi), khususnya yang berasal dari negara-negara terjangkit, terhadap penyakit maupun faktor risiko kesehatan, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada barang (pengamatan visual maupun menggunakan alat deteksi).

c.    Pengawasan Lingkungan

Meningkatkan pengawasan lingkungan pelabuhan, bandar udara, PLBDN, dan terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.

d.    Komunikasi risiko

Melakukan penyebarluasan informasi dan edukasi kepada pelaku perjalanan dan masyarakat di lingkungan pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes di wilayah, RS rujukan, Kantor Imigrasi, Kantor Bea dan Cukai, maupun pihak terkait lainnya, serta menyampaikan laporan kepada Dirjen P2P, melalui PHEOC apabila menemukan pasien dalam pengawasan dan upaya-upaya yang dilakukan.


e.    Pengawasan Kedatangan Orang

Secara umum kegiatan penemuan kasus COVID-19 di pintu masuk negara diawali dengan penemuan pasien demam disertai gangguan pernanapasan yang berasal dari negara/wilayah terjangkit. Berikut kegiatan pengawasan kedatangan orang:
1)    Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel, penumpang) khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui pengamatan suhu dengan thermal scanner maupun thermometer infrared, dan pengamatan visual.
2)    Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.
3)    Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam dan menunjukkan gejala-gejala pneumonia di atas alat angkut, petugas KKP melakukan pemeriksaan dan penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang sesuai (lampiran 11).
4)    Pengawasan kedatangan orang dilakukan melalui pengamatan suhu tubuh dengan menggunakan alat pemindai suhu massal (thermal scanner) ataupun thermometer infrared, serta melalui pengamatan visual terhadap pelaku perjalanan yang menunjukkan ciri-ciri penderita COVID-19.
5)      Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal scanner/thermometer infrared maka pisahkan dan lakukan wawancara dan evaluasi lebih lanjut.

Jika memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan maka dilakukan:
1)    Tatalaksana sesuai kondisi pasien termasuk disinfeksi pasien dan merujuk ke RS rujukan (lihat Kepmenkes Nomor 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Flu Burung/Avian Influenza) dengan menggunakan ambulans penyakit infeksi dengan menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) berbasis kontak, droplet, dan airborne.
2)    Melakukan tindakan penyehatan terhadap barang dan alat angkut
3)    Mengidentifikasi penumpang lain yang berisiko (kontak erat)
4)    Terhadap kontak erat (dua baris depan belakang kanan kiri) dilakukan observasi menggunakan formulir (lampiran 2)
5)    Melakukan pemantauan terhadap petugas yang kontak dengan pasien. Pencacatan pemantauan menggunakan formulir terlampir (lampiran 3)
6)    Pemberian HAC dan komunikasi risiko

7)    Notifikasi ≤ 24 jam ke Ditjen P2P melalui PHEOC ditembuskan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan dilakukan pencatatan menggunakan formulir notifikasi (lampiran 1). Notifikasi ke Dinas Kesehatan dimaksudkan untuk koordinasi pemantauan kontak erat.

Bila memenuhi kriteria orang dalam pemantauan maka dilakukan:
1)    Tatalaksana sesuai diagnosis yang ditetapkan
2)    Orang tersebut dapat dinyatakan laik/tidak laik melanjutkan perjalanan dengan suatu alat angkut sesuai dengan kondisi hasil pemeriksaan
3)    Pemberian HAC dan komunikasi risiko mengenai infeksi COVID-19, informasi bila selama masa inkubasi mengalami gejala perburukan maka segera memeriksakan ke fasyankes dengan menunjukkan HAC kepada petugas kesehatan. Selain itu pasien diberikan edukasi untuk isolasi diri (membatasi lingkungan di rumah) dan akan dilakukan pemantauan dan pengambilan spesimen oleh petugas kesehatan.
4)    KKP mengidentifikasi daftar penumpang pesawat. Hal ini dimaksudkan bila pasien tersebut mengalami perubahan manifestasi klinis sesuai definisi operasional pasien dalam pengawasan maka dapat dilakukan pemantauan terhadap kontak erat
5)    Notifikasi ≤ 24 jam ke Dinkes Prov dan Kab/Kota (lampiran 1) untuk dilakukan pemantauan di tempat tinggal.
6)    Pengambilan spesimen oleh tenaga kesehatan terlatih dan berkompeten di klinik pintu masuk atau tempat pelaksanaan pemantauan. Pengambilan dan pengiriman specimen berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat.

Pada penumpang dan kru lainnya yang tidak berisiko dan tidak bergejala juga dilakukan pemeriksaan suhu menggunakan thermal scanner, pemberian HAC, notifikasi ke wilayah dan komunikasi risiko. Kegiatan surveilans merujuk pada kegiatan surveilans bagi pelaku perjalanan dari area/negara terjangkit.

Alur penemuan kasus dan respon di pintu masuk dapat dilihat pada gambar 2.1.

2.3.2     Deteksi Dini dan Respon di Wilayah

Deteksi dini di wilayah dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans rutin dan surveilans berbasis kejadian yang dilakukan secara aktif maupun pasif. Kegiatan

ini dilakukan untuk menemukan adanya indikasi pasien dalam pengawasan COVID-
19 yang harus segera direspon. Adapun bentuk respon dapat berupa verifikasi, rujukan kasus, investigasi, notifikasi, dan respon penanggulangan. Bentuk kegiatan verifikasi dan investigasi adalah penyelidikan epidemiologi. Sedangkan, kegiatan respon penanggulangan antara lain identifikasi dan pemantauan kontak, rujukan, komunikasi risiko dan pemutusan rantai penularan.




Peneliti ITB Prediksi Kasus Covid-19 di Indonesia Jauh Lebih Tinggi  

novel corona virus







Grafik proyeksi kasus Covid-19 di Indonesia. Sumber: Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika (Nuning Nuraini, Kamal Khairudin,Mochamad Apri, Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB--KK Matematika Industri dan Keuangan FMIPA ITB)

LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Hingga 16 Maret 2020, total jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 134 kasus dengan 5 orang meninggal dunia. Sebaran daerah penderita Covid-19 meliputi DKI Jakarta, sejumlah daerah di Jawa Barat, sejumlah daerah di Banten, Solo, DI Yogyakarta, Pontianak, Manado, hingga Bali. Namun, angka dan sebaran penderita positif Covid-19 di Indonesia yang sebenarnya disebut jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Kementerian Kesehatan.

Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan model matematika yang dilakukan 3 peneliti dari Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi ITB serta kelompok kerja Matematika Industri dan Keuangan FMIPA ITB.

Perhitungan tersebut dipublikasikan dengan judul "Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika". Penelitinya meliputi Nuning Nuraini, Kamal Khairudin, dan Mochamad Apri. Dalam perhitungan tersebut, mereka menggunakan pengembangan model logistik Richard's Curve. Model tersebut dipilih karena terbukti memiliki hasil yang cukup baik untuk menentukan awal, puncak dan akhir endemik SARS di Hongkong pada 2003. Kurva tersebut kemudian diaplikasikan untuk melihat dinamika penderita Covid-19 di lima negara meliputi Cina, Italia, Iran, Korea Selatan, Amerika Selatan serta perhitungan dinamika di seluruh dunia. Berdasarkan perhitungan peneliti, parameter model hasil estimasi Korea Selatan dipilih untuk menggambarkan kasus serupa di Indonesia.

Salah satu hasilnya menunjukan bahwa kasus yang dilaporkan di Indonesia hingga saat ini belum merepresentasikan jumlah kasus yang sebenarnya. Angka sesungguhnya disebut bisa jauh lebih tinggi. "Kami tidak tahu jumlah kasus yang sebenarnya, tetapi yang jelas kasus yang terjadi jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan," tulis mereka. Tingginya jumlah kasus yang tidak terdeteksi tersebut menunjukan bahwa penyebaran virus tidak dapat dilacak dari jumlah infeksi yang dikonfirmasi. "Oleh sebab itu data jumlah kasus yang terkonfirmasi sering menjadi perdebatan apakah hal tersebut sudah merepresentasikan jumlah kasus sesungguhnya di masyarakat," ungkap mereka.

Selain itu, perhitungan model kurva tersebut juga memprediksikan bahwa Indonesia dapat mengalami puncak epidemi pada akhir Maret 2020, dan akhir epidemi mulai terjadi pada April 2020. Sementara jumlah kasus maksimal bisa mencapai lebih dari 8.000 kasus, sementara kasus baru terbesar bisa mencapai kurang lebih 600 kasus. Namun, mereka menyebutkan bahwa hal tersebut didasarkan pada hasil estimasi Korea Selatan, yang notabene negara tersebut dinilai menjadi salah satu negara yang telah menjalani SOP pandemi Covid-19 dengan baik.

"Bisa dibayangkan bila langkah pencegahan ini tidak dilakukan secara serius, maka kasus bisa berlipat dalam puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan penderita," tulis mereka. Oleh karenanya, mereka menyarankan agar Indonesia dapat setidaknya membantu untuk membuat kurva insiden tidak menjadi kurva Gaussian yang lancip dan tinggi. Karena apabila hal tersebut terjadi, kemungkinan rumah sakit akan kewalahan menerima pasien, sehingga peluang transmisi penyakit menjadi lebih besar. "Bila kurva yang dihasilkan dapat lebih rendah, diharapkan rumah sakit dan faskes lainnya dapat menampung pasien. Sehingga meskipun ada peningkatan kasus, langkah penanganan bisa dilakukan dengan lebih baik," tulis mereka
.weyh3y321y6

Hal yang dapat dilakukan untuk menekan kurva agar tidak melancip adalah dengan menjaga jarak sosial (social distancing) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Presiden RI hingga para kepala daerah. Jarak sosial ini dapat diartikan dengan menahan diri untuk menjauhi kerumunan dan membatasi keinginan untuk keluar rumah tanpa keperluan yang penting. "Selain itu jaga kebersihan diri dan lingkungan sesuai panduan yang diberikan oleh pihak kesehatan masyarakat terkait hal ini dan harus dilakukan secara DISIPLIN," tulis mereka di akhir penelitiannya. 








No comments :