Coronavirus adalah keluarga besar virus
yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya
dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan
Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari
unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini
sampai saat ini masih belum diketahui.
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19
antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak
napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14
hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom
pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala
klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa
kasus mengalami kesulitan
bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru.
Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus
pneumonia yang tidak diketahui
etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi
Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari
2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut
sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus disease, COVID-19). Pada tanggal
30 Januari 2020 WHO
telah menetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan
Dunia/ Public Health Emergency of
International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan jumlah kasus COVID-19
berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara
global dilaporkan 90.870
kasus konfimasi di 72 negara dengan 3.112 kematian (CFR 3,4%).
Rincian negara dan jumlah kasus sebagai berikut: Republik Korea (4.812 kasus,
28 kematian), Jepang
(268 kasus, 6 kematian), Singapura
(108
kematian), Australia
(33 kasus, 1 kematian), Malaysia
(29 kasus), Viet Nam (16 kasus),
Filipina (3 kasus, 1 kematian), New Zealand (2 kasus), Kamboja
(1 kasus), Italia (2.036 kasus,
52 kematian),
Perancis (191 kasus, 3 kematian), Jerman (157 kasus), Spanyol (114 kasus),
United Kingdom
(39 kasus), Swiss (30 kasus),
Norwegia (25 kasus),
Austria (18 kasus),
Belanda
(18 kasus), Swedia (15 kasus), Israel (10 kasus), Kroasia (9 kasus), Islandia
(9 kasus), San Marino (8 kasus),
Belgia (8 kasus),
Finlandia (7 kasus),
Yunani (7 kasus),
Denmark
(5 kasus), Azerbaijan
(3 kasus), Republik Ceko (3
kasus), Georgia (3 kasus),
Romania (3 kasus), Rusia (3 kasus), Portugal (2 kasus),
Andorra (1 kasus), Armenia (1 kasus), Belarus (1 kasus), Estonia (1 kasus),
Irlandia (1 kasus), Republik Latvia (1 kasus), Lithuania (1 kasus), Luxembourg
(1 kasus), Monako (1 kasus), Makedonia Utara (1 kasus),
Thailand (43 kasus, 1 kasus), India (5 kasus),
Indonesia (2 kasus),
Nepal (1 kasus),
Sri Lanka
(1 kasus), Iran (1.501 kasus, 66 kematian), Kuwait (56
kasus), Bahrain (49 kasus), Iraq (26 kasus), Uni Emirat Arab (21 kasus),
Libanon (13 kasus), Qatar (7 kasus), Oman (6 kasus), Pakistan (5 kasus), Mesir
(2 kasus), Afghanistan (1 kasus), Yordania (1 kasus), Maroko (1 kasus), Arab
Saudi (1 kasus), Tunisia (1 kasus), Amerika Serikat (64 kasus, 2 kematian),
Kanada (27 kasus), Ekuador (6 kasus), Meksiko (5 kasus), Brasil (2 kasus),
Republik Dominika (1 kasus), Algeria (5 kasus), Nigeria (1 kasus), Senegal (1
kasus). Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa petugas kesehatan yang
dilaporkan terinfeksi.
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19
dapat menular dari manusia ke manusia melalui kontak erat dan droplet, tidak
melalui udara. Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang
yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19.
Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci
tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, menghindari kontak
secara langsung dengan ternak dan hewan liar serta menghindari kontak dekat
dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan
bersin. Selain itu, menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat
berada di fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.
SURVEILANS DAN RESPON
Definisi Operasional
Pasien dalam Pengawasan
1. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam
(≥38oC) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda
penyakit pernapasan seperti: batuk/ sesak nafas/ sakit tenggorokan/ pilek/
/pneumonia ringan hingga
berat.#
DAN
tidak
ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan
DAN
pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;
b. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di
Indonesia**
2. Seseorang dengan demam (≥38oC) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel COVID-19;
3. Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat*** di area transmisi lokal
di Indonesia** yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
DAN tidak ada
penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan.
Orang dalam Pemantauan
Seseorang
yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk.
DAN
tidak ada penyebab
lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
DAN
pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan
transmisi lokal*;
b.
Memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di area transmisi lokal di Indonesia**
2.1.1
Kasus Probabel
Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk COVID-19
tetapi inkonklusif (tidak dapat disimpulkan).
2.1.2
Kasus Konfirmasi
Seseorang terinfeksi COVID-19 dengan hasil
pemeriksaan laboratorium positif.
Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan
atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan, probabel
atau konfirmasi) dalam
2 hari sebelum kasus timbul
gejala dan hingga 14 hari setelah
kasus timbul gejala.
Kontak erat dikategorikan menjadi 2, yaitu:
1.
Kontak erat risiko rendah
Bila
kontak dengan kasus pasien dalam pengawasan.
2.
Kontak erat risiko tinggi
Bila
kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel.
Termasuk
kontak erat adalah:
a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan
ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.
b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk
tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam
2 hari sebelum kasus timbul
gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari
setelah kasus timbul gejala.
2.2
Kegiatan Surveilans
2.2.1
Kasus Pasien dalam pengawasan
Jika ditemukan kasus pasien dalam pengawasan, kegiatan
surveilans dilakukan terhadap kontak
erat termasuk keluarga
maupun petugas kesehatan yang merawat pasien.
2.2.2
Kontak Erat
Berikut
kegiatan yang dilakukan terhadap kontak erat:
a.
Kontak erat risiko rendah
Kegiatan surveilans dan pemantauan kontak erat ini
dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan pasien dalam pengawasan.
Kontak erat ini wajib melakukan observasi. Observasi yang dimaksud dalam pedoman
ini adalah karantina. Kontak erat risiko rendah tidak memerlukan pengambilan spesimen.
·
Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan negatif COVID-19
maka kegiatan surveilans dan pemantauan terhadap kontak erat dihentikan.
·
Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan probabel/positif COVID-
19 (konfirmasi) maka pemantauan dilanjutkan menjadi kontak
erat risiko tinggi.
b. Kontak erat risiko tinggi
Kegiatan surveilans terhadap
kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak
kontak terakhir dengan
probabel/ konfirmasi. Kontak
erat ini wajib dilakukan
observasi dan dilakukan pengambilan spesimen
(hari ke-1 dan hari ke-14). Pengambilan spesimen dilakukan
oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman di lokasi observasi. Jenis spesimen dapat
dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai salinan formulir
pemantauan harian kontak erat (lampiran 2). Bila hasil
pemeriksaan laboratorium positif maka pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Apabila kontak erat menunjukkan gejala
demam (≥38⁰C) atau batuk/pilek/nyeri
tenggorokan dalam 14 hari terakhir maka dilakukan isolasi rumah dan pengambilan
spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 oleh petugas kesehatan setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi
pemantauan. Apabila hasil laboratorium positif, maka dilakukan rujukan ke RS
rujukan untuk isolasi di Rumah sakit. Petugas kesehatan melakukan pemantauan
melalui telepon, namun idealnya dengan melakukan kunjungan secara berkala
(harian). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining
gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer
dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Jika pemantauan terhadap
kontak erat sudah selesai maka dapat diberikan surat pernyataan yang diberikan
oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9). Penjelasan lengkap mengenai pelacakan kontak
erat dapat dilihat pada Bab II bagian 2.5.
2.2.3
Orang dalam Pemantauan
Orang dalam pemantauan wajib
melakukan isolasi diri di rumah
dan dilakukan pengambilan spesimen (hari
ke-1 dan hari ke-2). Kegiatan surveilans terhadap orang dalam pemantauan
dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari.
Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang
berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis
spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai formulir
pemeriksaan ODP/PDP (lampiran 6). Bila hasil pemeriksaan menunjukkan positif
maka pasien di rujuk ke RS Rujukan. Begitu pula bila apabila orang dalam pemantauan berkembang memenuhi kriteria
pasien dalam pengawasan dalam 14 hari terakhir
maka segera rujuk
ke RS rujukan untuk tatalaksana lebih lanjut.
Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui
telepon namun idealnya melakukan kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat
pada formulir pemantauan harian
(lampiran 2). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining
gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan
berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Orang dalam pemantauan yang
sudah dinyatakan sehat
dan tidak bergejala, ditetapkan melalui surat pernyataan
yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9).
2.2.4
Pelaku Perjalanan Dari Negara/Area Terjangkit
Pelaku perjalanan dari negara/area transmisi lokal yang
tidak bergejala wajib melakukan monitoring mandiri terhadap kemungkinan
munculnya gejala selama 14 hari sejak kepulangan. Setelah kembali dari
negara/area transmisi lokal sebaiknya mengurangi aktivitas yang tidak perlu dan
menjaga jarak kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain. Jika dalam 14 hari timbul gejala,
maka segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dan membawa HAC.
Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan dari negara terjangkit yang
tidak berisiko dan tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang
diberikan di pintu masuk negara. Petugas pintu masuk negara diharapkan
melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan alamat yang
tertera di HAC. Dinas Kesehatan yang menerima notifikasi dapat meningkatkan
kewaspadaan dan diharapkan melakukan komunikasi risiko kepada pelaku perjalanan
dengan memanfaatkan teknologi seperti telepon, pesan singkat, dll.
2.3
Deteksi Dini dan Respon
Kegiatan deteksi dini dan respon
dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya
pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, kasus probabel maupun kasus
konfimasi COVID-19 dan melakukan respon adekuat. Upaya deteksi dini dan respon
dilakukan sesuai perkembangan situasi COVID-19 dunia yang dipantau dari situs
resmi WHO atau melalui situs lain:
·
Situs resmi WHO (https://www.who.int/)
untuk mengetahui negara terjangkit dan wilayah yang sedang terjadi KLB COVID-19.
·
Peta penyebaran COVID-19 yang
mendekati realtime oleh Johns Hopkins University
-Center
for Systems Science and Engineering (JHU CSSE), dapat diakses pada link https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd4
0299423467b48e9ecf6.
·
Sumber lain yang terpercaya dari
pemerintah/ kementerian kesehatan dari negara terjangkit (dapat diakses di www.infeksiemerging.kemkes.go.id)
·
Sumber media cetak atau elektronik
nasional untuk mewaspadai rumor atau berita yang berkembang terkait dengan COVID-19.
2.3.1
Deteksi Dini dan Respon di Pintu
Masuk Negara
Dalam rangka implementasi International Health Regulation/ IHR
(2005), pelabuhan, bandara, dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) melakukan
kegiatan karantina, pemeriksaan alat angkut, pengendalian vektor serta tindakan
penyehatan. Implementasi IHR (2005) di pintu masuk negara adalah tanggung jawab
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) beserta segenap instansi di pintu masuk negara. Kemampuan utama untuk pintu masuk
negara sesuai amanah IHR (2005) adalah kapasitas dalam kondisi rutin dan
kapasitas dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD).
Kegiatan di pintu masuk negara meliputi
upaya detect, prevent, dan respond terhadap COVID-19 di pelabuhan,
bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pengawasan alat
angkut, orang, barang, dan lingkungan yang datang dari wilayah/ negara terjangkit
COVID-19 yang dilaksanakan oleh KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor
terkait.
2.3.1.1
Kesiapsiagaan
Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi
ancaman COVID-19 maupun penyakit dan faktor risiko kesehatan yang berpotensi
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) lainnya di pintu masuk (pelabuhan,
bandar udara, dan PLBDN), diperlukan adanya dokumen rencana kontinjensi dalam
rangka menghadapi penyakit dan faktor risiko kesehatan berpotensi KKM. Rencana Kontinjensi tersebut dapat diaktifkan ketika ancaman kesehatan
yang berpotensi KKM terjadi. Rencana kontinjensi disusun atas dasar
koordinasi dan kesepakatan bersama antara seluruh pihak terkait di lingkungan
bandar udara, pelabuhan, dan PLBDN.
Dalam rangka kesiapsiagaan tersebut perlu dipersiapkan beberapa hal meliputi norma,
standar, prosedur, kriteria
(NSPK), kebijakan dan strategi, Tim Gerak
Cepat (TGC), sarana
prasarana dan logistik,
serta pembiayaan. Secara umum kesiapsiagaan tersebut meliputi:
a.
Sumber Daya Manusia (SDM)
·
Membentuk atau mengaktifkan TGC di
wilayah otoritas pintu masuk negara di bandara/ pelabuhan/ PLBDN. Tim dapat
terdiri atas petugas KKP, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina Hewan dan unit lain
yang relevan di wilayah otoritas pintu masuk negara yang memiliki kompetensi
yang diperlukan dalam pencegahan importasi penyakit.
·
Peningkatan kapasitas SDM yang
bertugas di pintu masuk negara
dalam kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 dengan melakukan
pelatihan/drill, table top exercise, dan simulasi penanggulangan COVID-19.
·
Meningkatkan kemampuan jejaring
kerja lintas program dan lintas sektor dengan semua unit otoritas di bandara/
pelabuhan/ PLBDN.
b. Sarana dan Prasarana
·
Tersedianya ruang wawancara, ruang
observasi, dan ruang karantina untuk tatalaksana penumpang. Jika tidak tersedia
maka menyiapkan ruang yang dapat dimodifikasi dengan cepat untuk melakukan
tatalaksana penumpang sakit yang sifatnya sementara.
·
Memastikan alat transportasi
(ambulans) penyakit menular ataupun peralatan
khusus utk merujuk
penyakit menular yang dapat difungsikan setiap saat untuk mengangkut
ke RS rujukan. Apabila tidak tersedia ambulans khusus penyakit menular,
perujukan dapat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pencegahan infeksi
(menggunakan Alat Pelindung Diri/ APD lengkap dan penerapan disinfeksi)
·
Memastikan fungsi alat deteksi
dini (thermal scanner) dan alat
penyehatan serta ketersediaan bahan pendukung.
·
Memastikan ketersediaan dan fungsi
alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit terkait.
·
Menyiapkan logistik penunjang
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-obat suportif (life-saving), alat kesehatan, APD, Health
Alert Card (HAC), dan melengkapi logistik lain, jika masih ada kekurangan.
·
Menyiapkan media komunikasi risiko
atau bahan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dan menempatkan bahan KIE
tersebut di lokasi yang tepat.
·
Ketersediaan pedoman kesiapsiagaan
menghadapi COVID-19 untuk petugas kesehatan, termasuk mekanisme atau prosedur
tata laksana dan rujukan pasien.
2.3.1.2
Deteksi Dini dan Respon di Pintu
Masuk Negara
Deteksi dini dan respon dilakukan untuk
memastikan wilayah bandara, pelabuhan dan PLBDN dalam keadaan tidak ada
transmisi. Berikut upaya deteksi dan respon yang dilakukan di pintu masuk
negara:
a.
Pengawasan Kedatangan Alat Angkut
1) Meningkatkan pengawasan alat angkut khususnya yang berasal dari
wilayah/negara terjangkit, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan alat angkut
dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada alat angkut.
2) Memastikan alat angkut tersebut terbebas dari faktor risiko penularan
COVID-19.
3) Jika dokumen lengkap dan/atau tidak ditemukan penyakit dan/ atau faktor
risiko kesehatan, terhadap alat angkut dapat diberikan persetujuan bebas karantina.
4) Jika dokumen tidak lengkap dan/ atau ditemukan penyakit dan/ atau
faktor risiko kesehatan, terhadap alat angkut diberikan persetujuan karantina
terbatas, dan selanjutnya dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan yang
diperlukan (seperti disinfeksi, deratisasi, dsb).
5) Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan
lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes, RS rujukan, Kantor Imigrasi, dsb.
b. Pengawasan Kedatangan Barang
Meningkatkan pengawasan barang (baik
barang bawaan maupun barang komoditi), khususnya yang berasal dari
negara-negara terjangkit, terhadap penyakit maupun faktor risiko kesehatan,
melalui pemeriksaan dokumen kesehatan dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada barang (pengamatan visual maupun menggunakan alat deteksi).
c. Pengawasan Lingkungan
Meningkatkan pengawasan lingkungan
pelabuhan, bandar udara, PLBDN, dan
terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.
d. Komunikasi risiko
Melakukan penyebarluasan informasi dan
edukasi kepada pelaku perjalanan dan masyarakat di lingkungan pelabuhan, bandar
udara, dan PLBDN. Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP
berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes di wilayah,
RS rujukan, Kantor Imigrasi, Kantor Bea dan Cukai, maupun pihak terkait
lainnya, serta menyampaikan laporan kepada Dirjen P2P, melalui PHEOC apabila
menemukan pasien dalam pengawasan dan upaya-upaya yang dilakukan.
e.
Pengawasan Kedatangan Orang
Secara
umum kegiatan penemuan
kasus COVID-19 di pintu masuk negara
diawali dengan penemuan pasien demam disertai gangguan pernanapasan yang
berasal dari negara/wilayah terjangkit. Berikut kegiatan pengawasan kedatangan orang:
1) Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel,
penumpang) khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui
pengamatan suhu dengan thermal scanner maupun
thermometer infrared, dan pengamatan visual.
2) Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.
3) Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam dan menunjukkan
gejala-gejala pneumonia di atas alat angkut, petugas KKP melakukan pemeriksaan
dan penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang sesuai (lampiran 11).
4) Pengawasan kedatangan orang dilakukan melalui
pengamatan suhu tubuh dengan menggunakan alat pemindai
suhu massal (thermal scanner) ataupun
thermometer infrared, serta melalui
pengamatan visual terhadap pelaku perjalanan yang menunjukkan ciri-ciri
penderita COVID-19.
5) Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal scanner/thermometer infrared
maka pisahkan dan lakukan wawancara
dan evaluasi lebih lanjut.
Jika
memenuhi kriteria pasien dalam
pengawasan maka dilakukan:
1) Tatalaksana sesuai kondisi
pasien termasuk disinfeksi pasien dan merujuk ke RS rujukan (lihat Kepmenkes
Nomor 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Flu
Burung/Avian Influenza) dengan
menggunakan ambulans penyakit infeksi dengan menerapkan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) berbasis kontak, droplet, dan airborne.
2) Melakukan tindakan penyehatan terhadap barang dan alat angkut
3) Mengidentifikasi penumpang lain yang berisiko (kontak erat)
4)
Terhadap kontak erat (dua baris
depan belakang kanan kiri) dilakukan observasi menggunakan formulir (lampiran 2)
5)
Melakukan pemantauan terhadap
petugas yang kontak dengan pasien. Pencacatan pemantauan menggunakan formulir
terlampir (lampiran 3)
6)
Pemberian HAC dan komunikasi risiko
7) Notifikasi ≤ 24 jam ke Ditjen P2P melalui PHEOC ditembuskan ke Dinas Kesehatan
Provinsi dan dilakukan pencatatan menggunakan formulir notifikasi (lampiran 1).
Notifikasi ke Dinas Kesehatan dimaksudkan untuk koordinasi pemantauan kontak
erat.
Bila
memenuhi kriteria orang dalam pemantauan
maka dilakukan:
1)
Tatalaksana sesuai diagnosis yang ditetapkan
2) Orang tersebut dapat dinyatakan laik/tidak laik melanjutkan perjalanan
dengan suatu alat angkut sesuai dengan kondisi hasil pemeriksaan
3) Pemberian HAC dan komunikasi risiko mengenai infeksi COVID-19,
informasi bila selama masa inkubasi mengalami gejala perburukan maka segera
memeriksakan ke fasyankes dengan menunjukkan HAC kepada petugas kesehatan.
Selain itu pasien diberikan edukasi untuk isolasi diri (membatasi lingkungan di
rumah) dan akan dilakukan pemantauan dan pengambilan spesimen oleh petugas kesehatan.
4) KKP mengidentifikasi daftar penumpang pesawat.
Hal ini dimaksudkan bila
pasien tersebut mengalami perubahan manifestasi klinis sesuai definisi
operasional pasien dalam pengawasan maka dapat dilakukan
pemantauan terhadap kontak erat
5) Notifikasi ≤ 24 jam ke Dinkes Prov dan Kab/Kota (lampiran 1) untuk
dilakukan pemantauan di tempat tinggal.
6) Pengambilan spesimen oleh tenaga kesehatan
terlatih dan berkompeten di klinik pintu masuk atau tempat pelaksanaan pemantauan.
Pengambilan dan pengiriman specimen berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
setempat.
Pada penumpang dan
kru lainnya yang tidak berisiko dan tidak bergejala
juga dilakukan pemeriksaan suhu menggunakan thermal scanner, pemberian HAC, notifikasi ke wilayah dan
komunikasi risiko. Kegiatan surveilans merujuk pada kegiatan surveilans bagi
pelaku perjalanan dari area/negara terjangkit.
Alur penemuan kasus dan respon di pintu masuk dapat dilihat
pada gambar 2.1.
2.3.2
Deteksi Dini dan Respon di Wilayah
Deteksi dini di wilayah dilakukan melalui peningkatan
kegiatan surveilans rutin dan surveilans berbasis kejadian yang dilakukan
secara aktif maupun pasif. Kegiatan
ini
dilakukan untuk menemukan adanya indikasi pasien dalam pengawasan COVID-
19 yang harus segera direspon. Adapun bentuk respon dapat
berupa verifikasi, rujukan kasus, investigasi, notifikasi, dan respon
penanggulangan. Bentuk kegiatan verifikasi dan investigasi adalah penyelidikan
epidemiologi. Sedangkan, kegiatan respon penanggulangan antara lain
identifikasi dan pemantauan kontak, rujukan, komunikasi risiko dan pemutusan
rantai penularan.
Peneliti ITB Prediksi Kasus Covid-19 di Indonesia Jauh Lebih Tinggi
novel corona virus
Grafik proyeksi kasus Covid-19 di Indonesia. Sumber: Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika (Nuning Nuraini, Kamal Khairudin,Mochamad Apri, Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB--KK Matematika Industri dan Keuangan FMIPA ITB)
LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Hingga 16 Maret 2020, total jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 134 kasus dengan 5 orang meninggal dunia. Sebaran daerah penderita Covid-19 meliputi DKI Jakarta, sejumlah daerah di Jawa Barat, sejumlah daerah di Banten, Solo, DI Yogyakarta, Pontianak, Manado, hingga Bali. Namun, angka dan sebaran penderita positif Covid-19 di Indonesia yang sebenarnya disebut jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Kementerian Kesehatan.
Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan model matematika yang dilakukan 3 peneliti dari Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi ITB serta kelompok kerja Matematika Industri dan Keuangan FMIPA ITB.
Perhitungan tersebut dipublikasikan dengan judul "Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika". Penelitinya meliputi Nuning Nuraini, Kamal Khairudin, dan Mochamad Apri. Dalam perhitungan tersebut, mereka menggunakan pengembangan model logistik Richard's Curve. Model tersebut dipilih karena terbukti memiliki hasil yang cukup baik untuk menentukan awal, puncak dan akhir endemik SARS di Hongkong pada 2003. Kurva tersebut kemudian diaplikasikan untuk melihat dinamika penderita Covid-19 di lima negara meliputi Cina, Italia, Iran, Korea Selatan, Amerika Selatan serta perhitungan dinamika di seluruh dunia. Berdasarkan perhitungan peneliti, parameter model hasil estimasi Korea Selatan dipilih untuk menggambarkan kasus serupa di Indonesia.
Salah satu hasilnya menunjukan bahwa kasus yang dilaporkan di Indonesia hingga saat ini belum merepresentasikan jumlah kasus yang sebenarnya. Angka sesungguhnya disebut bisa jauh lebih tinggi. "Kami tidak tahu jumlah kasus yang sebenarnya, tetapi yang jelas kasus yang terjadi jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan," tulis mereka. Tingginya jumlah kasus yang tidak terdeteksi tersebut menunjukan bahwa penyebaran virus tidak dapat dilacak dari jumlah infeksi yang dikonfirmasi. "Oleh sebab itu data jumlah kasus yang terkonfirmasi sering menjadi perdebatan apakah hal tersebut sudah merepresentasikan jumlah kasus sesungguhnya di masyarakat," ungkap mereka.
Selain itu, perhitungan model kurva tersebut juga memprediksikan bahwa Indonesia dapat mengalami puncak epidemi pada akhir Maret 2020, dan akhir epidemi mulai terjadi pada April 2020. Sementara jumlah kasus maksimal bisa mencapai lebih dari 8.000 kasus, sementara kasus baru terbesar bisa mencapai kurang lebih 600 kasus. Namun, mereka menyebutkan bahwa hal tersebut didasarkan pada hasil estimasi Korea Selatan, yang notabene negara tersebut dinilai menjadi salah satu negara yang telah menjalani SOP pandemi Covid-19 dengan baik.
"Bisa dibayangkan bila langkah pencegahan ini tidak dilakukan secara serius, maka kasus bisa berlipat dalam puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan penderita," tulis mereka. Oleh karenanya, mereka menyarankan agar Indonesia dapat setidaknya membantu untuk membuat kurva insiden tidak menjadi kurva Gaussian yang lancip dan tinggi. Karena apabila hal tersebut terjadi, kemungkinan rumah sakit akan kewalahan menerima pasien, sehingga peluang transmisi penyakit menjadi lebih besar. "Bila kurva yang dihasilkan dapat lebih rendah, diharapkan rumah sakit dan faskes lainnya dapat menampung pasien. Sehingga meskipun ada peningkatan kasus, langkah penanganan bisa dilakukan dengan lebih baik," tulis mereka
.
Hal yang dapat dilakukan untuk menekan kurva agar tidak melancip adalah dengan menjaga jarak sosial (social distancing) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Presiden RI hingga para kepala daerah. Jarak sosial ini dapat diartikan dengan menahan diri untuk menjauhi kerumunan dan membatasi keinginan untuk keluar rumah tanpa keperluan yang penting. "Selain itu jaga kebersihan diri dan lingkungan sesuai panduan yang diberikan oleh pihak kesehatan masyarakat terkait hal ini dan harus dilakukan secara DISIPLIN," tulis mereka di akhir penelitiannya.